Beberapa waktu lalu, sebelum mengunjungi Gardu Tanam Paksa di Desa Tlahab Lor dan Desa Siwarak kecamatan Karangreja, saya sempat mengunjungi Monumen A.W. Soemarmo.
Monumen ini berdiri di desa Tlahab Kidul, kecamatan Karangreja, kabupaten Purbalingga, atau persisnya di depan SMP Negeri 3 Karangreja.
Seperti biasa, ketika mengunjungi destinasi bersejarah di Purbalingga, saya tidak bisa menemukan sumber yang pasti untuk mengungkap latar belakangnya. Siapa itu AW Soemarmo, peristiwa apa yang melatarbelakingi berdirinya monumen itu, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya. Lagi-lagi, hanya beberapa catatan yang berserakan di laman pencarian google yang serba sedikit.
Menurut catatan Toto Endargo—seorang guru di Purbalingga—melalui laman blognya, Kabupaten Purbalingga dulunya pernah dibagi menjadi tiga wilayah kawedanan. Yaitu, Kawedanan Purbalingga, Kawedanan Bukateja, dan Kawedanan Bobotsari. Kawedanan tersebut biasanya membawahi beberapa wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Kecamatan.
Pejabat yang menduduki wilayah Kawedanan disebut Wedana. Wedana inilah yang membawahi para Asisten Wedana—atau sekarang disebut camat—yang bertugas membantu Wedana.
Jadi, jabatan Asisten Wedana tak lain adalah jabatan seorang Camat pada masa sekarang. Dahulu, masyarakat menyebut kantor Asisten Wedana sebagai “Asistenan”. Karena itu, pejabatnya kerap dipanggil “Pak Sisten”.

Siapa Asisten Wedana Soemarmo?
Menurut sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh Joko Rusnanto, seperti yang tercatat dalam sebuah laman blog, bahwa M.Soemarmo adalah putra dari pasangan Marto Sukardjo—seorang Guru Sekolah Angka Telu Banyumas—dan Surkiah.
Menurut penelitian tersebut, M.Soemarmo lahir pada tahun 1921 di Banyumas, dan mempunyai enam orang saudara yang masing-masing bernama Partini, Siam, Martiah Kusmiati, Suryati, Suprapto, dan Surtiah, yang meninggal sewaktu masih berusia 4 tahun.
Pada tahun 1927, M.Soemarmo memasuki sekolah H.I.S Banyumas, dan lulus tahun 1933. Kemudian, pada tahun 1936, ia meneruskan ke MULO di Purwokerto. Setelah lulus, ia melanjutkan sekolah di H.I.K Yogyakarta.
Ketika duduk di kelas II H.I.K Yogyakarta tahun 1939, M.Soemarmo dikeluarkan oleh pihak sekolah karena kedapatan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah dikeluarkan dari sekolah, ia pulang ke Banyumas. Di tempat kelahirannya, ia mengikuti kursus mengetik selama satu tahun.
Karena keterampilannya dibidang tulis-menulis, pada tahun 1941 M.Soemarmo diangkat menjadi juru tulis di Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Di sinilah kemudian, ia jatuh hati pada R.Ngt.Soekarminah, putri seorang Mantri Polisi Pamong Raja (MPP) Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, dan menikah pada Janurai 1943.
Pada tahun 1946, pangkat M.Soemarmo dinaikkan menjadi Klerek, dan dipindahtugaskan ke Cilacap. Pasangan M. Soemarmo dan R. Ngt. Soekarminah mempunyai putra dan putri, masing-masing bernama Rr. Soelasih Ninghartati, M. Walryudi Budihartono, Wahyono Purnomohadi, Herman (meninggal masih bayi), Haryanto (meninggal masih bayi), dan Rr. Sri Winarti (meninggal usia 4 tahun).
Pada tahun yang sama, M.Soemarmo diangkat menjadi Mantri Polisi kelas II (dua) di kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap. Tahun 1952, ia dipindahkan ke Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara dengan jabatan Mantri Polisi I (satu) hingga tahun 1954.
Tahun 1960 M.Soemarmo diangkat menjadi Asisten Wedana Karangreja, yang waktu itu—kantor Asisten Wedana—berada di Desa Tlahab Kidul, Purbalingga.
Gugurnya Sang Asisten Wedana
Asisten Wedana Soemarmo, gugur dalam menghadapi pemberontakan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dari Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kelompok ini kemudian menyebar hingga ke beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan.
Di Jawa Tengah, kelompok DI/TII ini dipimpin oleh Amir Fatah Wijaya Kusuma. Sayap inilah yang kemudian melakukan teror hingga di wilayah Karangreja, sebuah wilayah di Purbalingga bagian utara yang berbentuk pegunungan.
Masih menurut catatan Joko Rusnanto, beberapa saksi kejadian gugurnya Asisten Wedana Soemarmo mengungkapkan, bahwa pada Senin, 20 November 1961 malam, suasana pendopo Asisten Wedana Karangreja di desa Tlahab Kidul, nampak tenang. Hanya ada beberapa petugas yang piket menjaga kantor.
Mantri Polisi Soedarso, Juru Tulis Wasdi, Wiryadiharjo, dan Mufid—seorang juru tulis dari kecamatan Mrebet yang kemudian datang ke kantor Asisten Wedana Karangreja—adalah orang-orang yang bertugas menjaga kantor Asisten Wedana Karangreja malam itu.
Sementara, Soemarmo—Sang Asisten Wedana—dengan mengenakan piyama putih, nampak santai mendengarkan siaran wayang kulit di radio, ditemani seorang anggota Bintara Onder Distrik Militer (BODM), Mawardi, di teras rumah dinas.

Sekitar pukul 19.30, Mantri Polisi Soedarso dan Juru Tulis Wasdi mendatangi pos keamanan di dukuh Silestreng, tidak jauh dari pendopo Asisten Wedana. Selang 30 menit kemudian, mereka—Mantri Polisi Soedarso dan Juru Tulis Wasdi—kembali ke pendopo.
Sampai di pendopo, Asisten Wedana Soemarmo sudah masuk ke dalam rumah. Sedang Mawardi sendiri telah meninggalkan rumah dinas Asisten Wedana untuk meninjau pos keamanan di dukuh Kemojing desa Tlahab Kidul, ditemani seorang anggota Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR)—sekarang Linmas, atau Perlindungan masyarakat—Kartadi Kamin.
Sekitar jam sepuluh malam, Wasawikarta—petugas ronda dari Tlahab Kidul—datang ke pendopo Asisten Wedana, memberitahukan kepada mereka yang berada di dalam kantor, bahwa ia dan petugas ronda lainnya melihat sesuatu yang mencurigakan, yaitu sinar senter dari arah barat kantor.
Setelah melapor, Wasawikarta dan kawan-kawannya kembali pergi untuk meyakinkan sinar apa sebenarnya yang mereka lihat.
Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tembakan dari arah barat pendopo, disusul tembakan dari arah selatan. Mereka menduga bahwa suara tembakan itu berasal dari kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Mereka yang ada di Pendopo pun mendengar rentetan tembakan itu. Dengan perasaan panik, Mantri Polisi Soedarso, Juru Tulis Wasdi langsung keluar rumah menyeberang jalan, menembus kebun jagung dan bersembunyi di tepi sungai, untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu kepanikan juga terjadi dirumah Asisten Wedana Seomarmo. Mendengar suara tembakan yang diarahkan ke rumah, Istri M. Soemarmo mendekap putri bungsunya, Sri Winarti yang masih berusia 4 tahun.
Sedang dua anak laki-laki M. Soemarmo, Wahyudi Budi Hartono dan Wahyono Purnomohadi beserta pembantunya, Wakem, bersembunyi di kolong tempat tidur.
Lantas, Asisten Wedono Soemarmo sendiri masuk ke kamar mengambil senjata jenis Colt untuk melakukan perlawanan.
Tak lama, masuklah 4 orang bersenjata dengan menggunakan seragam militer dan berhadapan langsung dengan Asisten Wedono Soemarmo. Tanpa pikir panjang Soemarmo menembakkan pistol ke arah empat orang itu, dan mengenai salah satu orang diantaranya.
Dari arah belakang, Soemarmo mendengar serentetan tembakan yang ternyata mengenai tubuh dan membuatnya jatuh tersungkur ke lantai.
Melihat peristiwa itu, istri Soemarmo yang tengah mendekap putrinya, diminta untuk menunjukan kunci brankas milik suaminya. Namun ia tidak mengetahuinya. Maka, sekali tembakan mengenai tubuh putri bungsu yang sedang id dekap. Darah mengalir, lalu istri Soemarmo ambruk ke lantai bersama putrinya.
Lantas, gerombolan itu menyentuh kaki istri Soemarmo, untuk memastikan bahwa ia dan anaknya sudah mati. Gerombolan itu yakin bahwa istri Soemarmo bersama putrinya sudah mati. Namun, sesungguhnya ia masih hidup, meski anaknya sudah mati.
Sesaat setelah membunuh Soemarmo beserta putrinya, kemudian gerombolan itu pergi dan membakar rumah dinas Asisten Wedana. Ketika api semakin besar, dua putra Soemarmo dan pembantunya yang bersembunyi di kolong tempat tidur, segera berlari ke luar rumah. Di susul kemudian oleh istri Soemarmo.

Setelah peristiwa itu reda, sekitar jam dua belas malam, Mentri Polisi Sudarso, Juru Tulis Wasdi beserta anggota keamanan lainya kembali ke lokasi pendopo. Saat itu pula datang anggota BODM dan Perintis (sekarang Polri) dari Purbalingga, dan bersama-sama memadamkan api yang masih menyala, sementara sebagian lainnya bertugas mengamankan lokasi dan mencari korban .
Dari puing-puing dan abu sisa pembakaran rumah dinas itu, mereka menemukan Jenazah Sri Winarti dan Jenazah Asisten Wedono Soemarmo. Keesokan harinya, Selasa 21 November 1961, kedua Jenazah dibawa ke pendopo kawedanan Bobotsari.
Penanda Gugurnya Sang Asisten Wedana

Untuk menghormati jasa sang Asisten Wedana Soemarmo yang gugur dalam melawan gerombolan pemberontak DI/TII, Pemerintah Kabupaten Purbalingga membangun sebuah monumen bernama Monumen AW Soemarmo.
Monumen tersebut berbentuk bangunan tiga tugu yang berdempetan, dimana pada tiga tugu tersebut bagian ujungnya miring. Dua tugu yang lebih tinggi mengapit tugu yang lebih pendek.
Tinggi Tugu pertama sekitar 380 cm, tinggi tugu kedua sekitar 300 cm, dan tugu ketiga sekitar 200 cm. Pada ujung tugu paling rendah, tertulis sebuah kalimat prasasti berbunyi;
“DI SINI GUGUR ASISTEN WEDANA SOEMARMO, MELAWAN GEROMBOLAN DI/TII, PADA HARI SENIN KLIWON 20 NOVEMBER 1962”
Asiten Wedana Soemarmo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Purbosaroyo, Purbalingga. Sedangkan putrinya, Sri Winarti di makamkan di pemakaman umum desa Majapura kecamatan Bobotsari, kabupaten Purbalingga.
Tragis sekali, balita berumur empat tahun harus ikut menjadi korban urusan politik seperti itu.
Semoga arwah mereka yang gugur mendapat tempat yang baik di sisi Tuhan YME.
Terima kasih Mas, untuk kisah yang menarik ini. Kebetulan saya penyuka sejarah.
Pada tahun-tahun tersebut, lembaran sejarah negeri kita memang kelam Mas Agung? Terlalu banyak cerita tragis, namun sayangnya tak banyak generasi muda yang mengetahuinya. Monumen yang saya kunjungi itu pun, nyaris tak terpelihara. Semoga kita menjadi bagian generasi yang peduli akan sejarah.
Terima kasih Mas Agung, Salam…
Mas Sukman jago sekali menceritakan sejarah. Saya jadi bisa membayangkan peristiwa waktu Asisten Wedana Soemarmo gugur ditembak pasukan DI/TII.
Dari beberapa cerita, sepertinya pasukan DI/TII gemar sekali bersembunyi di daerah pegunungan. Sekali waktu saya pernah main ke Gunung Rakutak di Jawa Barat. Pas riset kecil-kecilan sebelum main, jadi ngerti bahwa gunung itu pernah jadi lokasi persembunyian Kartosuwiryo. 😀
Postingannya keren, Mas. 🙂
Terima kasih Mas Morishige…Sejatinya masih banyak kesaksian yang tidak saya tuliskan di sini. Sedih dan marah mendengar kesaksian mereka yang menjadi korban keganasan DI/TII. Tapi, bagaimanapun pahitnya, itulah hitam dan putih sejarah perjalanan bangsa ini.
Terima kasih sudah mampir, Mas? Salam…
Tahun 60an menjadi era hitam dalam sejarah kita ya mas, saya pernah diceritakan oleh bapak saya suasana tahun segitu yg sering bikin saya geleng2 kepala dengernya, sadis dan tega …
btw, sempat galfok sebentar tadi, kirain adi soemarmo hehe.. kata ibu, mbah buyut saya dulu pernah jadi Demang pada masa kolonial..
salah satu masa kelam dalam sejarah RI.. gak kebayang mengerikannya saat itu terutama bagi orang-orang yang terdampak langsung.. anyway hutan dan pegunungan selalu menjadi tempat persembunyian para pemberontak ya, entah itu DI/TII, GAM, OPM, atau kelompok teroris di sulawesi sana..
-traveler paruh waktu
bagus sekali sejarah dikenang dalam bentuk monumen sehingga generasi berikutnya bisa mengenang.
perjuangan beliau.
Monumennya kenapa di pagari tembok tertutup begitu ya …