Siang itu saya menghabiskan waktu bersama seorang gadis. Ilalang liar, angin tak beraturan,—sesekali—menyapu wajah kami. Di bawah rindang pohon Pinus,—kalau saya tak luput—kami saling berkisah, dan saling berkasih.

Kini, enam belas tahun telah berlalu. Gadis yang membuatku mabuk itu, telah menjadi ibu bagi anak-anakku. Dan jeda waktu dua windu itu telah menyadarkanku, bahwa dulu—saya dan kekasih—pernah tak mempedulikan nama tempat itu.
Sebuah tempat di mana orang-orang menyebutnya Goa Lawa. Sebuah destinasi wisata—yang enam belas tahun silam itu—masih didiami ilalang dan pohon-pohon pinus, serta butuh keberanian yang lebih untuk dapat menyusuri lorong-lorong goa.
Tapi saya percaya. Yang tak pernah berubah dalam kehidupan adalah perubahan. Dan saya meyakininya sebagai sebuah keniscayaan.
Seperti halnya wisata alam Goa Lawa. Setelah enam belas tahun berlalu, semua telah berubah. Semua terus berbenah. Hingga akhirnya, saya mengenali Goa Lawa sebagai Golaga (Goa Lawa Purbalingga). Sebuah obyek wisata alam, yang kemudian menjadi kian populer hingga tahun 2020 ini.
Golaga (Goa Lawa Purbalingga)
Tahun 2018, menjadi titik balik obyek wisata Goa Lawa. Goa yang berada di desa Siwarak, kecamatan Karangreja, kabupaten Purbalingga itu, dipoles sedemikian rupa. Tidak melulu tampilan yang dipoles, melainkan nama Goa Lawa juga diubah menjadi Golaga, yang merupakan akronim dari Goa Lawa Purbalingga.
Ya, kini para wisatawan lebih mengenal Golaga ketimbang Goa Lawa. Meski sejatinya, dua-duanya sama substansinya.
Pertimbangan branding nama Goa Lawa menjadi Golaga bukan tanpa alasan. Sejak obyek wisata Goa Lawa dikelola Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Owabong, Pemerintah Kabupaten Purbalingga menjadikan Goa Lawa sebagai ikon wisata alam di kabupaten Purbalingga.

Nah, pada Sabtu kemarin saya mengunjungi Golaga. Bersama seorang kawan, Mas Sepka namanya—yang kebetulan bekerja di obyek wisata Golaga—saya menyusuri kembali kenangan-kenangan yang pernah terlukis di sana.
Berangkat dari rumah pukul 13:00 WIB, saya hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di lokasi wisata alam Golaga.
Sampai di lokasi, saya disambut hangat Mas Sepka. Lalu, selanjutnya, inilah cerita saya tentang Golaga yang saya kunjungi Kamis kemarin, ditemani Mas Sepka.
Sedikit Legenda Tentang Goa Lawa
Menurut Mas Sepka, legenda Goa Lawa terkait erat dengan nama Desa Siwarak.
Konon, kata Mas Sepka, dahulu kala ada dua ahli agama Islam kakak beradik bernama Akhmad dan Mohammad, yang menyebarkan ajaran Islam di kaki Gunung Slamet bagian timur.
Mereka mempunyai dua pengikut bernama Bangas dan Bangis. Dalam menyebarkan ajaran Islam, mereka dikerjar oleh Pemerintah Kerajaan Majapahit. Raja menugaskan seorang panglima untuk membendung perkembangan Agama Islam, bernama Ki Sutaraga.

“Ki Sutaraga, berhasil mematahkan usaha penyebaran agama Islam oleh Akhmad dan Mohammad. Sehingga Akhmad dan Mohammad terpaksa melarikan diri. Mereka lari dan bersembunyi di Goa Lawa,” terang Mas Sepka.
Di dalam Goa, mereka memohon petunjuk kepada Yang Kuasa agar dapat selamat menyebarkan ajaran Islam.
Dalam keheningan, kedua kakak beradik itu, seperti mendapatkan ilham untuk mengganti nama mereka.
Akhmad berganti nama Taruno, dan Mohammad berganti nama menjadi Taruni.
Setelah mengganti nama, mereka keluar dari gua. Bertemulah mereka dengan Ki Sutaraga. Mereka ditanya apakah melihat Ahmad dan Mohammad. Dengan cerdik, mereka menjawab, bahwa mereka sering melihat Ahmad dan Mohamad.
Namun, kedua orang tersebut telah mati diterkam dan dimakan oleh tiga ekor harimau. Beruntung, Ki Sutaraga mempercayai cerita bohong tersebut.
Lantas, Ki Sutaraga beserta prajuritnya bersorak. Namun, sorak-sorai pasukan Kerajaan Majapahit itu terdengar oleh telinga Bangas dan Bangis, pengikut setia Akhmad dan Mohamad.
Ketika mereka bertanya, rupanya Ki Sutaraga menjawab bahwa Ahmad dan Mohammad telah mati di tangannya.
Maka, Bangas dan bangis menantang duel dengan Ki Sutaraga. Namun, Ki Sutaraga tidak melayani karena Bangas dan Bangis pasti akan kalah.

Mendengar ejekan tersebut, Bangas dan Bangis menyerang ki Sutaraga. Melihat gelagat yang tidak baik itu, Ki Sutaraga hanya bertolak pinggang, sambil berkata dengan suara lantang.
“Hai, kamu Bangas dan Bangis! kamu berdua tak tau diri. Tingkah laku mu layaknya binatang,” cerita Mas Sepka.
Demikianlah, karena kesaktian ucapan Ki Sutaraga, Bangas dan Bangis berubah sifat dan wujudnya menjadi dua ekor binatang badak (jawa : warak). Maka, tempat itu kemudian diberinama Siwarak.
Fasilitas Apa Yang Bisa Dinikmati di Golaga Tahun 2020 Ini?
Sambil menyusuri jalan menuju ke dalam Goa, Mas Sepka bercerita, bahwa para wisatawan yang berkunjung dapat menikmati beberapa fasilitas. Antara lain:
1. Lava Coffee Shop
Lava Coffee Shop merupakan Kafe kopi yang berada di dalam Goa Lawa. Kafe ini menyajikan berbagai jenis minuman kopi khas Purbalingga. Semisal kopi Gunung Malang, Kopi Gunung Kelir, dan Kopi Karangjambu.
Selain kopi, Lava Coffee Shop juga menyajikan makanan tradisional seperti singkong goreng, mendoan, dan nanas bakar.
Menurut Mas Sepka, Lava Coffee Shop merupakan Kafe di dalam Goa yang pertama kali ada di Indonesia. Saya pun kemudian diajak ngopi oleh Mas Sepka di Lava Coffee Shop. Dan saya memesan kopi Gunung Malang.

2. Cahaya Lampu Eksotis Pada Dinding-Dinding Goa
Setelah minum kopi, saya diajak Mas Sepka untuk menyusuri lorong-lorong Goa yang sangat eksotis dan indah.
Sepanjang penelusuran, saya dibuat takjub oleh warna-warni dinding Goa yang berasal dari efek lampu yang dipasang di setiap sudut Goa.
Pemandangan tersebut, membuat saya betah dan berlama-lama di dalam Goa. Di Dalam Goa Lawa, kata Mas Sepka, terdapat 14 goa lain yang dapat saya telusuri. Seperti Goa Batu Semar, Goa Waringin Seto, Goa Dada Lawa, Goa Batu keris, Goa Ratu ayu, Goa Langgar, Goa Angin, Gua Museum Batu, Goa Rahayu, Goa Cepet, Goa Pos, Goa Danau, Goa Penembahan, dan Goa Naga.
Mas Sepka menambahkan, bahwa pada masing-masing nama Goa tersebut, ada kisah dan ceritanya sendiri.

3. Kebun Binatang Mini
Setelah puas menyusuri lorong-lorong Goa, saya kemudian diajak Mas Sepka untuk masuk ke Mini Zoo, atau Kebun Binatang Mini.
Dinamakan Mini Zoo, sebab sejauh ini, baru ada tujuh koleksi hewan peliaharaan berupa Rusa. Rusa-Rusa itu, terang Mas Sepka, sudah jinak dan setiap pengunjung dapat berinteraksi dengan cara memberikan makanan berupa Wortel, yang dapat dibeli seharga Rp. 5.000 di Pintu masuk Mini Zoo.
Karena penasaran, saya pun mencoba berinteraksi dengan Rusa-Rusa itu. Awalnya rada takut sih, tapi setelah saya memberi makan, Rusa-Rusa itu memang benar sangat jinak.

4. Camping Ground
Usai puas berinteraksi sama Rusa-Rusa lucu itu, saya diajak melihat-lihat lokasi Camping Ground yang berdampingan dengan Mini Zoo. Hamparan umput yang hijau dan tertata rapi, dirimbuni pohon-pohon Pinus besar, membuat saya penasaran untuk camping di tempat tersebut.
Selain Camping Ground, di Golaga juga menyediakan fasilitas Camping di atas Pohon. Ada tenda yang sudah siap, kamar mandi, dan Kafe di atas Pohon juga. Dengan harga paket Rp. 1,5 juta, wisatawan dapat menikmati paket Camping dengan pemandangan yang eksotis dari atas pohon.

5. Amphi Teatre
Nah, kalau fasilitas yang satu ini biasanya digunakan dalam event tertentu. Seperti pada event Golaga Jazz beberapa waktu silam, yang menampilkan artis Marcell Siahaan.
Namun, karena tahun ini pandemi covid-19 belum selesai, beberapa event sejenis, yang mestinya akan digelar, terpaksa harus dibatalkan.

Buka Dengan Menerapkan Protokol Kesehatan
Sebelum saya pamit, Mas Sepka bilang bahwa Golaga Purbalingga sudah buka seperti biasa, hanya saja pihak Golaga menerapkan protokol kesehatan, dan menerapkan pembatasan jumlah pengunjung. Untuk hari biasa, harga tiket hanya Rp. 20.000. Sedang akhir pekan, tiket masuk sebesar Rp. 25.000.
Nah, bagi sobat yang ingin mengunjungi obyek wisata Golaga Purbalingga, jangan lupa selalu menggunakan masker. Jangan lupa pula untuk berdoa agar pandemi ini lekas berlalu dari negeri tercinta.
Terima kasih Mas Sepka, yang sudah menemani saya mengelilingi Golaga Purbalingga.
Tabik…
Nice info kang. Yang asik dari Golaga itu, setiap waktu bisa jadi waktu terbaik untuk dolan ke destinasi wisata di Purbalingga ini. Dan, setiap sudut kawasan juga asik untuk pelesiran. Tapi, aku pribadi lebih seneng kalau dolannya agak sorean, karena punya peluang merasakan kabut menyelimuti. hehehe.
Kang sukman selayaknya pemuda di banyumas raya, era 90-an. Dimana kalau pacaran pasti ke goa lawa. hehehe.
Haha…waktu sore memang paling ok. Dapat kabutnya juga, plus pengunjung udah gak begitu banyak. Cocok buat ngopi ya Kang?