Jauh sebelum Gunanto Eko Saputra a.k.a Kang Gun menulis buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira, sejatinya saya pernah membuka-buka beberapa laman daring dari Negeri Kincir Angin tersebut.
Banyak foto-foto, dan bahkan video yang menceritakan kondisi Purbalingga pada saat bumi Perwira masih diduduki penjajah Belanda.
Meski berbekal Google Translate, saya mengira-ira atas beberapa dokumentasi jadul yang terpampang di beberapa laman daring tersebut.
Nah, kehadiran buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira karya Kang Gun tersebut menambah tebal keyakinan saya perihal apa yang saya lihat di laman-laman daring milik Belanda.
Dalam buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira—yang sangat saya sukai covernya itu—Kang Gun menampilkan secara detail atas beberapa peristiwa yang terjadi di Purbalingga kisaran tahun 1930-an.
Buku yang diterbitkan oleh SIP Publishing tersebut menampilkan begitu banyak dokumentasi foto-foto polah wong Landa di Purbalingga, dan diceritakan dengan Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami pembaca.
Ada 20 sub judul yang ditampilkan dalam Jejak Kolonial di Bumi Perwira karya mantan wartawan ini. Di akhir halaman, penulis secara khusus menampilkan foto-foto dokumentasi dalam sub judul Jejak Kolonial di Purbalingga dalam Gambar.
Ada beberapa judul yang bagi saya cukup menarik perhatian dalam buku tersebut. Sebab, beberapa foto yang ditampilkan dalam buku tersebut—yang jejaknya masih ada hingga sekarang—sudah pernah saya kunjungi.
Gardu Saksi Praktik Tanam Paksa di Purbalingga
Pada halaman 21, Kang Gun menulis bahwa ada dua gardu –yang oleh Pemkab Purbalingga—disebut sebagai Gardu Tanam Paksa.

Gardu yang pertama terletak di di Desa Tlahab Lor, dan satu lagi berada di Desa Siwarak kecamatan Karangreja, Purbalingga.
Gardu-gardu—yang pada papan penanda tertulis Gardu VOC—tersebut berfungsi sebagai pos pengawasan tanam paksa yang ada di Purbalingga waktu itu.
Soal nama gardu yang disebut sebagai Gardu VOC itu, sejatinya masih ada perdebatan di kalangan sejarawan Purbalingga. Penulis buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira ini juga menilai penamaan nama Gardu VOC tersebut kurang tepat.
Mengingat—tulis Kang Gun—menurut data Sistem Regristasi Cagar Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, gardu tersebut dibuat pada tahun 1883, yang berarti 39 tahun era VOC telah berlalu. Sebab, era VOC telah berakhir pada tahun 1799.
Lanraad Saksi Bisu Diskriminasi Hukum Kolonial

Judul lain yang ditampilkan dalam menarik ini adalah soal Lanraad atau Pengadilan.
Gedung peninggalan Belanda yang satu ini, saat ini masih digunakan sebagai Gedung Pengadilan Negeri Purbalingga.
Pada halaman 55 buku tersebut, Kang Gun menuliskan bahwa Gedung Lanraad di Purbalingga diperkirakan sudah dibangun sejak tahun 1848. Kompleks pengadilan tersebut memiliki 5 unit Gedung bergaya Indish Empire Style. Di mana empat dari lima bangunan tersebut konstruksinya saling menyambung dan membentuk persegi. Sedang satu unit lainnya difungsikan sebagai Gudang.
Stana Landa Purbalingga

Orang Purbalingga menyebutnya Stana Landa. Orang Belanda menyebutnya Kerkhoff. Jejak peninggalan Belanda yang terletak di Jalan Letkol Isdiman tersebut merupakan komplek pemakaman orang-orang Belanda yang meninggal di Purbalingga.
Dalam buku tersebut, Kang Gun menampilkan catatan ini pada halaman 120. Menurut Kang Gun, Sebagian besar orang Belanda yang dikuburkan di Stana Landa tersebut merupakan warga sipil Belanda, yang bekerja sebagai pegawai di beberapa perusahaan swasta milik Belanda.
Makam tertua yang ada di Kerkhof tersebut adalah A.J. Vincent dan Claudien van Haak, di mana pada nisannya tertulis tahun 1865.
Soal Kerkhoff Belanda ini saya pernah menuliskannya dalam blog ini dengan judul Mengenang Meneer dan Mevrouw di Kerkhof Belanda Purbalingga.
Tentang Buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira
Tidak ada sejarah yang sempurna. Namun, dengan membaca buku karya Gunanto Eko Saputro tersebut, setidaknya saya jadi membayangkan bahwa Belanda—dengan barbagai polahnya—pernah ada di Purbalingga.

Dan apa yang dipaparkan oleh Kang Gun dalam buku tersebut, saya kira masih Sebagian kecil atas berbagai peristiwa yang terjadi pada saat colonial Belanda masih di Purbalingga.
Meski demikian, ini—menurut saya—wajib dibaca oleh warga masyarakat kabupaten Purbalingga.
Pasalnya, bulan Desember tahun 2020 ini, secara administratif, kabupaten Purbalingga telah memasuki usia 189 tahun. Karena itu, buku Jejak Kolonial di Bumi Perwira layak dibaca sebagai rangkaian perjalanan sejarah Kabupaten Purbalingga.
Selamat Ulang Tahun ke-190 kabupaten Purbalingga. Semoga semakin Perwira.
Salam…
Ye, sudah selesai juga. Aku belum. Hahaha. Baru rampung membacanya.
Haha…didiskusikan kayaknya jadi ramai Mba?
Halooo pie kabare kang mas, wis sue ora dolan ngene. Aku ya ndue kie bukune mas Igun, pokoke orang purbalingga wajib punya buku ini, hahaha.
Alkhamdulilah sehat Kang Abe…Kapan balik Purbalingga Kang?