• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
Ayo Dolan

Ayo Dolan

Tentang Dolan, Makan, dan Rebahan

  • Beranda
  • Dolan
  • Budaya
  • Inspirasi
  • Ulasan
  • Show Search
Hide Search
Mbah Rasminah sedang membatik
Beranda » Budaya » Mengenang Kejayaan Warisan Seni Batik Tulis Desa Dagan

Mengenang Kejayaan Warisan Seni Batik Tulis Desa Dagan

Mbah Rasminah, adalah salah satu saksi kejayaan seni batik tulis di Desa Dagan, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga.

Bersama Komunitas Umah Pakeliran Desa Dagan, saya mengunjungi Mbah Rasminah di bengkel batiknya.

“Dulu, membatik menjadi pekerjaan utama. Sekarang, banyak generasi muda yang lebih suka bekerja di pabrik,” kata Mbah Rasminah, mengenang kejayaan batik tulis Desa Dagan.

Ia—Mbah Rasminah—menjadi salah satu dari generasi awal di desanya yang hingga kini masih membatik. Untuk menyelesaikan satu kain batik, ia memerlukan waktu hingga satu minggu. Bahkan bisa lebih, terutama jika motif batik yang dikerjakan terasa rumit.

Dulu—Mbah Rasminah berkisah—penghasilan utama keluarga dari membatik. Dari hasil kerjanya itu, ia dan keluarga mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, seiring dengan modernitas yang terus mengganas, membatik menjadi pekerjaan yang jarang dilirik, terutama bagi anak-anak muda.

Batik tulis harganya memang sedikit lebih mahal jika dibanding batik lainnya, seumpama batik cap atau batik yang diproduksi dengan menggunakan peralatan modern.

Di satu sisi, menurut Mbah Rasminah, ia tidak menyalahkan generasi muda yang lebih memilih bekerja di sektor industri modern. Pasalnya, kebutuhan hidup dan zaman yang terus bergerak cepat, mensyaratkan segala sesuatu juga harus cepat.

Sementara, pekerjaan membatik memerlukan waktu lama, dan kesabaran tingkat tinggi. Sedang hasil pekerjaannya belum tentu langsung laku.

Anak Perempuan Mbah Rasminah ikut membatik
Anak Perempuan Mbah Rasminah turut membatik

Mengenang Kejayaan Batik Tulis

Desa Dagan, lanjut Mbah Rasminah, dulu terkenal sebagai desa sentra batik tulis. Orang kalau ingin membeli batik tulis, pasti datang ke desa tersebut.

Rasa-rasanya, kenang Mbah Rasminah, hampir setiap keluarga yang ada di Desa Dagan memiliki ketrampilan membatik. Bahkan, banyak orang di luar desa yang rela antri menunggu batik tulis pesanan mereka.

“Banyak orang dari luar desa yang datang ke desa Dagan untuk belajar membatik. Kini, katanya, hampir di semua desa di Purbalingga ada pengrajin batik tulis,” kenangnya kepada saya.

Mbah Rasminah berharap, agar para generasi muda—meski bekerja di sektor industri—juga setidaknya memiliki ketrampilan membatik. Jika tidak demikian, maka batik tulis desa Dagan, cepat atau lambat hanya tinggal kenangan.

Mbah Rasminah sedang membatik
Mbah Rasminah sedang membatik

Bertahan Dengan Membentuk Kelompok Batik Tulis

Mbah Rasminah bercerita, agar tradisi membatik di desanya tidak lenyap, ia dan beberapa perempuan seusianya membentuk kelompok batik tulis.

“Kelompok pembatik kami gunakan sebagai media berkomunikasi antar satu pembatik dengan pembatik lainnya,” terangnya. Selain itu, kelompok juga berfungsi sebagai lembaga Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Sementara itu, Ketua Kelompok Batik Tulis Dagan, Ibu Diyatmi yang saya temui di kediamannya menjelaskan, hingga saat ini ada sekitar 39 pembatik yang tergabung dalam kelompok. Masing-masing anggota memiliki peralatannya sendiri, dan pekerjaan membatik masih dilakukan di rumah masing-masing anggota.

“Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah melakukan promosi batik tulis, baik kepada khalayak umum,maupun instansi,” terang Ibu Diyatmi.

Selain promosi, pihaknya juga kerap dipercaya pihak pemerintah daerah Purbalingga, untuk mewakili Purbalingga dalam setiap event pameran batik tulis. Ia juga gencar mendesak Pemerintah Desa setempat untuk turut mengembangkan warisan adiluhung tersebut.

Ibu Diyatmi Ketua Kelompok Batik Tulis Desa Dagan
Ibu Diyatmi Ketua Kelompok Batik Tulis Desa Dagan

Beragam Motif dan Variasi Harga

Salah satu motif batik tulis yang menjadi ciri khas kelompoknya adalah motif Sida Mukti. Motif ini merupakan motif batik tulis yang merepresentasikan kultur dan alam di desa Dagan.

Selain itu, para anggota kelompok juga kian kreatif membuat berbagai macam motif batik tulis. Pada saat Pemerintah Kabupaten Purbalingga menetapkan motif batik tulis bernama Batik Lawa sebagai batik khas Purbalingga, ia dan anggota kelompoknya juga pernah dipercaya untuk memproduksi batik dengan motif Lawa.

Nama Lawa sebagai motif batik berangkat dari salah satu andalan wisata di Purbalingga, yaitu obyek wisata Goa Lawa. Belakangan, obyek wisata Goa Lawa menjadi prioritas pemerintah kabupaten Purbalingga, sebagai obyek wisata andalan, selain Owabong.

Masing-masing motif batik tulis memiliki variasi harga yang berbeda. Harga satu kain batik tulis dengan tingkat kerumitan yang tinggi, harganya bisa mencapai Rp. 450 ribu. Sedang harga kain batik tulis yang motifnya lebih sederhana harganya bisa di bawah Rp. 400 ribu.

“Menjual produk batik tulis itu perlu kesabaran. Selain itu, membatik juga harus dilandasi dengan rasa dan filosofi agar batik memiliki nilai seni,” papar Ibu Diyatmi.

Kini, ia tengah membangun bengkel batik yang nantinya juga dapat digunakan sebagai tempat pelatihan membatik bagi para generasi muda di desanya. Meski menggunakan dana pribadi, ia berharap agar ada pihak yang turut membantunya.

“Sebab bagaimanapun, batik tulis merupakan warisan seni dan ekonomi yang perlu diuri-uri, dan wajib dilestarikan,” kata Ibu Diyatmi, mengakhiri pembicaraan.

Bersama Komunitas Umah Pakeliran Desa Dagan
Bersama Komunitas Umah Pakeliran Desa Dagan

Catatan Lainnya

Papan Museum Lokastithi Giri Badra
Museum Lokastithi Giri Badra: Sebuah Warisan Budaya Yang Perlu Pembaca
Papan Prasasti Cipaku
Prasasti Cipaku: Jejak Peradaban Yang Belum Tuntas Terbaca
Pntu Masuk Timur Lokasi Situs Watu Lumpang
Mengagumi Jejak Megalitikum di Situs Watu Lumpang Desa Buara, Purbalingga

Oleh Sukman Ibrahim 14 Juni, 2020 11 Komentar

Tentang Sukman Ibrahim

Seorang blogger yang menyukai alam terbuka, penggemar kopi hitam, dan pecinta buku-buku Roman Sejarah. Suka rewel di Twitter.

Reader Interactions

Komentar

  1. Agung Pushandaka

    16 Juni, 2020 pada 6:54 pm

    Salut untuk Mbah Rasminah yang tetap setia membatik, meskipun usia pasti tak bisa lagi secepat waktu muda menyelesaikan sehelai kain motif batik.
    Memang menjadi masalah yang terjadi dimana-mana, karena desakan ekonomi, generasi muda jadi meninggalkan profesi yang dulu menjadi sumber utama pendapatan seseorang/keluarga. Mungkin nanti, akan ada masanya dimana profesi seniman batik tulis akan dihargai lebih layak sehingga generasinya tak putus.

    Balas
    • Sukman Ibrahim

      23 Juni, 2020 pada 4:23 pm

      Betul Mas Agung, Mbah Rasminah suaranya masih lantang, tangannya masih trampil meski usianya 70 tahun. Yang aku salut, dia masih setia dengan pekerjaan membatik. Semoga saja, ada saatnya nanti profesi batik tulis akan lebih dihargai.
      Salam…

      Balas
  2. Himawan Sant

    24 Juni, 2020 pada 5:13 am

    Wah, semoga ada generasi penerus untuk pengrajin batik Lawa ini. Jangan sampai terhenti karya-karyanya.
    Mungkin solusinya, diadakan pelatihan membatik secara rutin yang dapat diikuti cowok juga cewek.

    Balas
    • Sukman Ibrahim

      28 Juni, 2020 pada 5:30 pm

      Ide yang bagus Mas? Ini akan saya share juga di grup WA. Salam…

      Balas
  3. Anton

    25 Juni, 2020 pada 2:25 am

    Masalah klasik dari hal tradisional, mulai tergerus modernisasi. Problemnya mengapa tidak menarik bagi generasi muda adalah karena seni tradisional ini tidak mendatangkan uang, padahal kebutuhan hidup terus meningkat. Hal itu sama saja dengan tidak ada masa depan.

    Banyak yang berpikir sekedar “melestarikan”, tetapi kalau sebuah seni atau industri tradisional tidak bisa menjadi sumber penghasilan, perlahan tapi pasti akan menghilang. Tidak ada daya tarik bagi generasi muda untuk terlibat.

    Mungkin kalau promosi digalakkan secara konsisten, banyak orang akan kembali datang untuk membeli batik tulis seperti ini. Bagaimanapun, batik seperti ini punya keunikan yang tidak ada duanya. Jika pembeli banyak, generasi muda akan memandangnya sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan uang dan mau terjun.

    Juga, seharusnya tidak terfokus hanya pada menjual barang jadi saja, batiknya. Bukankah bisa dicoba mempromosikan kursus batik tulis bagi yang berminat? Pemasukan jadi tidak hanya terfokus pada memproduksi batik saja, tetapi bisa juga dari sisi lainnya. Bukankah bisa membuka kurus membatik secara online?

    Saya tidak cukup yakin bahwa batik tulis seperti ini akan bertahan lama, jika pola pemasarannya memakai cara tradisional saja. Butuh cara modern untuk menunjangnya tetap bertahan

    Balas
    • Sukman Ibrahim

      28 Juni, 2020 pada 5:29 pm

      Terima kasih Mas Anton komentarnya. Komentar panjang ini saya screen shoot dan saya share di grup WA dan banyak mendapat perhatian. Memang harus kita akui, seni batik tradisional perlu cara-cara yang modern agar tetap bisa bertahan.

      Balas
  4. morishige

    25 Juni, 2020 pada 4:10 am

    Baca soal persoalan pewarisan batik ke generasi muda ini, saya jadi ingat film kartun yang baru kemarin lusa saya tonton. Judulnya “A Whisker Away.” Salah seorang tokoh utamanya, karena dari kecil sudah diajak sang kakek beraktivitas di studio produk tanah liat miliknya, akhirnya tertarik untuk meneruskan bisnis kakeknya itu, Mas. Cuma memang kesadarannya muncul perlahan. Saya percaya kalau berkesenian tak bisa dipaksakan.

    Balas
    • Sukman Ibrahim

      28 Juni, 2020 pada 5:27 pm

      Setuju Mas, bisa jadi akan seperti itu cerita soaal batik. Saya sendiri sejauh ini cuma bisa jadi pengagum batik. Artinya saya selalu takjub dengan orang-orang yang memiliki kemampuan seni.

      Balas
  5. Bara Anggara

    25 Juni, 2020 pada 6:53 am

    Semoga komunitas ini terus bergerak maju, merangkul lebih banyak lagi generasi muda untuk tetap melestarikan batik tulis di Purbalingga. Semoga ada pihak-pihak -terutama dari pemerintah daerah/desa- yang bisa memberikan bantuan -entah berupa dana, media promosi, dan lain sebagainya-.
    batik lawa seperti apa ya motifnya? Dulu waktu kecil saya pernah diajak orang tua ke gua lawa, tapi lupa visualnya..

    Balas
    • Sukman Ibrahim

      28 Juni, 2020 pada 5:26 pm

      Sementara ini Komunitas ini masih bergerak sendiri Mas? Mereka lebih fokus pada literasi dan wisata desa.

      Balas
  6. AkuBangkit

    1 Juli, 2020 pada 2:39 pm

    Masalah perbatikan di purbalingga itu kompleks. Ada benang kusut baik di hulunya maupun di produksi. Beberapa masalahnya sudah dijelaskan oleh Kang Sukman. Hehehe. Semakin banyak yang kasih perhatian dan apresiasi terhadap karya batik lokal Purbalingga, dunia perbatikan akan menemukan solusi atas masalah2nya lah. Mantap kang. Btw, inyonge ngomong apa sih. Hahah

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Tentang
  • Kontak
  • Privasi

Copyright © 2021 · AyodolanID